Sabtu, 20 Desember 2008

Masjid Al-Ikhlas

Lokasi : Jl. Penghulu Desa Sijuk, Kecamatan Sijuk, BelitungKordinat
GPS :
2°33′56.60″S, 107°45′54.87″E

Masjid Al-Ikhlas merupakan saksi sejarah perjuangan masyarakat Belitung melawan kolonial Belanda. Pada saat itu, masjid tua ini menjadi pusat komando perjuangan rakyat Belitung. Dalam kesederhanaan arsitekturnya, terekaman sejarah perjuangan rakyat yang tak kenal lelah dalam menghadapi penjajah.
Pertama kali dibangun pada tahun 1817 di desa Sijuk, Pulau Belitung di ujung sebelah utara. Dinding masjid berwarna coklat dan memiliki atap berundak dua. Di samping masjid terdapat ruang aula pertemuan dalam bentuk menyerupai masjid. Sehingga Masjid Al-Ikhlas seakan memiliki dua masjid kembar.
Arsitektur masjid mencirikan bangunan khas daerah Belitung. Bentuk masjid bujursangkar, memiliki ukuran 8 meter x 8 meter. Masih asli dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Bagian mihrab agak menjorok dari bangunan utama dan diberi atap dengan bentuk yang sama dengan bangunan utamanya. Bagian atas mihrab tertera tanggal perbaikan masjid dengan huruf arab Melayu, bertuliskan “diperbaiki 1 rajab 1370 H”. Seluruh bagian masjid terbuat dari material kayu. Hanya lantainya yang sudah berganti keramik.Tak jauh dari Masjid Al-Ikhlas, sekitar 200 m sebelah barat terdapat Klenteng. Menurut penjaga masjid dan klenteng, mereka sepakat bahwa dua tempat ibadah ini dibangun oleh orang Tionghoa pada tahun yang sama. Pertama, pembangunan masjid kemudian dilanjutkan dengan pembangunan klenteng.Dari informasi tersebut sesuai dengan penelitian G.W Skinner dalam bukunya “The Colloquium on Overseas” yang menyebutkan bahwa sebelum abad 19 emigran Tionghoa yang menyebar ke wilayah nusantara kebanyakan adalah laki-laki. Di tempat-tempat baru yang mereka datangi , emigran Tionghoa ini lalu kawin dengan wanita setempat atau wanita Tionghoa peranakan. Maksudnya adalah wanita Tionghoa yang dilahirkan dari perkawinan antara laki-laki Tionghoa dan dan wanita pribumi.
Kedekatan dua tempat ibadah tersebut di atas dapat menggambarkan bahwa sejak dulu hingga sekarang kerukunan beragama warga disini sangat terjaga dengan baik. Demikian juga keakraban antara penduduk pribumi dan Tionghoa atau peranankannya.
Catatan perjalanan sejarah Belitung tidak terlepas dan saling terkait dengan sejarah Bangka. Pada kisaran tahun 1709, timah ditemukan di pulau Bangka oleh orang-orang Johor. Sejak tahun 1710, sumber-sumber timah di pulau Bangka dan Belitung dikelola Kesultanan Palembang. Untuk pengelolaannya, Sultan sampai harus mendatangkan tenaga ahli pertambangan dari negeri Cina.
Pada tahun 1717, Sultan Palembang meminta bantuan VOC untuk menumpas bajak laut di perairan Bangka-Belitung serta mencegah penyelundupan timah. Permintaan dikabulkan. Lima tahun kemudian, VOC mengajukan kerjasama yang merugikan Kesultanan Palembang, menjual timah kepada VOC dan boleh membeli timah sesuai dengan jumlah yang mereka perlukan.
Dampak perjanjian ini tidak hanya merugikan Kesultanan saja, pasar timah di Palembang pun hampir merosot tajam. Alhasil, penyelundupan timah marak kembali. Timah dijual di luar kawasan Palembang. Hal ini sangat merugikan VOC. Maka pada tahun 1803, utusan VOC, V.D. Bogarts dan Kapten Lombart bertolak ke Bangka-Belitung untuk menunjukkan ketegasan bahwa pihak kolonial adalah penguasa tunggal timah di tanah ini.Monopoli Belanda atas timah harus dihentikan. Berdasarkan Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 menyatakan bahwa Belanda harus menyerahkan daerah-daerah taklukannya kepada pihak Inggris, meliputi Jawa, Timor, Makassar, Palembang, dan daerah taklukan lainnya.
Tindak lanjut Perjanjian Tuntang, Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles, mengirimkan utusan ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur dan tambang timah di pulau Bangka dan Belitung. Namun, upaya Inggris mengambil alih Palembang dan Bangka-Belitung ditentang oleh Sultan Palembang, Sultan Mahmud Badarudin II.
Raffles mengirim kembali utusan, Mayor Jendral Roobert Rollo Gillespie ke Palembang pada tanggal 20 Maret 1812. Kedatangannya ditolak oleh Sultan Palembang. Dua kali gagal, Inggris mulai melaksanakan politik devide et impera. Mereka mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang pada tahun 1812 yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Sebagai imbalannya, Sultan Najamuddin menyerahkan Bangka-Belitung kepada Inggris. Pada tanggal 20 Mei 1812, Bangka-Belitung resmi menjadi jajahan Inggris dengan nama Duke of Island.
Kekuasaan Inggris di Bangka-Belitung hanya dua tahun. Tepat pada tanggal 13 Agustus 1814, Belanda dan Inggris menandatangani Perjanjian London, yang isinya mengembalikan wilayah jajahan Inggris di nusantara kepada Belanda, termasuk di dalamnya Bangka-Belitung.
Selama berada dalam genggaman Belanda dan Inggris, kondisi Bangka-Belitung sangat memprihatinkan. Sumber-sumber timah digali besar-besaran tanpa memperdulikan kaum pribumi dan lingkungan sekitarnya. Penipuan, pemerasan dan eksploitasi tiada batas menimbulkan kebencian penduduk asli Bangka-Belitung. Puncaknya adalah sikap perlawanan. Dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin dan Tikal, masyarakat Bangka-Belitung melawan pendudukan kolonial dan mengusirnya. Namun, perlawanan yang dilakukan selama bertahun – tahun tidak mampu mengalahkan Belanda dari tanah Bangka-Belitung. Belanda tetap bercokol dan berkuasa di Bangka-Belitung.
Perebutan lahan tambang timah berlanjut terus hingga masa kemerdekaan. Tidak sedikit upaya masyarakat Bangka-Belitung melepaskan diri dari berbagai cengkeraman berbagai kekuasaan yang datang silih berganti. Kekayaan alam yang dimiliki hanya memberi manfaat sangat kecil kepada masyarakat setempat. Eksploitasi luar biasa pada masa lalu meninggalkan dekadensi alam yang nilainya tak terhingga.
Kini, ketenteraman dan kedamaian telah hadir di tanah Belitung. Peristiwa di masa lalu adalah pelajaran berharga. Jejak perjalanan sejarah Belitung dapat kita telusuri melalui kunjungan situs-situs bersejarah, salah satunya Masjid Al-Ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar